Ekosistem startup di Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan dinamika yang menarik, dengan berbagai tantangan dan peluang yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sektor ini. Hingga Februari 2025, Indonesia memiliki lebih dari 2.500 startup aktif, menjadikannya salah satu ekosistem paling dinamis di Asia Tenggara. Dari jumlah tersebut, 14 startup telah mencapai status unicorn, yaitu perusahaan dengan valuasi lebih dari US$1 miliar. Salah satu contohnya adalah GoTo, hasil merger antara Gojek dan Tokopedia, yang menjadi entitas teknologi terbesar di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, investasi ke startup Indonesia mengalami penurunan signifikan. Pada tahun 2021, total investasi mencapai Rp144 triliun, menurun menjadi Rp68 triliun pada 2022, dan Rp25,31 triliun pada 2023. Fenomena “tech winter” atau penurunan investasi global menjadi salah satu penyebab utama tren ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, ekosistem startup di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat. Namun, di balik geliat inovasi dan investasi yang mengalir deras, banyak startup yang justru gugur di usia balita—kurang dari lima tahun sejak berdiri.
Menyadari potensi dan tantangan ini, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Kasih Bangsa mengadakan Webinar dengan Judul Startup Gagal di Usia Balita yang diselenggarakan pada selasa 11 Februari 2025 melalui platform Zoom.
Webinar ini terbuka untuk umum, terutama bagi mahasiswa, pelajar, para pelaku usaha mikro, kecildan menengah (UMKM) dan para pemilik entitas yang ingin belajar mengetahui lebih dalam tentang stratup.
Ruslaini SE., MM selaku Ketua STIE Kasih Bangsa membuka webinar perdana ini dengan penuh semangat. Ibu Ruslaini mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, ekosistem startup di Indonesia mengalami pasang surut yang signifikan. Meski banyak startup yang berhasil meraih pendanaan besar dan berkembang pesat, tidak sedikit yang terpaksa gulung tikar akibat berbagai faktor.
Salah satu penyebab utama kegagalan startup adalah ketidakmampuan dalam mencapai profitabilitas. Banyak startup mengandalkan pendanaan dari investor untuk membiayai operasional mereka, namun gagal menemukan model bisnis yang berkelanjutan. Contoh terbaru adalah beberapa startup di sektor e-commerce dan fintech yang harus menutup operasinya karena kehabisan dana dan tidak mampu bersaing di pasar yang semakin kompetitif.
Selain Ibu Ruslaini, terdapat dua narasumber yang berpengalaman yaitu Novaldi Nur Rochman Putra, N.R.P., S.AB., M.M., CHCM selaku COO of PT Digital Solusi Group dan Iqbal Luthfillah, S.Kom., M.T selaku Founder PT Alfahuma Rekayasa Teknologi. Keduanya membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka kepada para peserta seminar tentang mengapa startup bisa gagal di usia balita dan bagaimana cara mengantisipasinya.
Novaldi Nur Rochman Putra, N.R.P., S.AB., M.M., CHCM. mengatakan banyak pendiri startup terlalu fokus pada pertumbuhan cepat tanpa memperhatikan keberlanjutan bisnisnya. “Banyak startup yang bergantung pada pendanaan investor tanpa memiliki strategi monetisasi yang jelas. Ketika pendanaan berhenti, operasional mereka langsung terganggu,” ujar Novaldi
Selain itu, faktor internal seperti manajemen yang kurang matang, perbedaan visi di antara pendiri, serta kurangnya riset pasar turut menjadi penyebab utama kegagalan. Tak sedikit startup yang gagal beradaptasi dengan perubahan tren dan kebutuhan konsumen.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa membangun startup bukan hanya tentang inovasi dan ide cemerlang, tetapi juga tentang eksekusi yang tepat dan daya tahan menghadapi tantangan industri.
Iqbal lutfillah menambahkan bahwa banyak startup gagal dalam lima tahun pertama karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Berikut adalah beberapa alasan utama kenapa startup banyak yang gugur di usia balita seperti Model Bisnis yang Tidak Berkelanjutan, Salah Sasaran Pasar, Pengelolaan Keuangan yang Buruk, Kompetisi yang Ketat, Kurangnya Pengalaman dan Manajemen yang Lemah, Sulit Mendapatkan Pendanaan Lanjutan
Startup sering bergantung pada pendanaan dari investor. Namun, jika mereka gagal menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan, investor enggan memberikan pendanaan lanjutan, menyebabkan mereka kehabisan modal operasional, Tidak Mampu Beradaptasi dengan Perubahan, Produk atau Layanan yang Tidak Skalabel, Masalah Regulasi dan Hukumdan Burnout di Tim Pendiri.
Novaldi mengatakan bahwa fenomena kegagalan startup di Indonesia memberikan gambaran bahwa tidak semua inovasi dapat bertahan dalam jangka panjang. Meski demikian, kegagalan bukan akhir dari segalanya, melainkan peluang untuk belajar dan berkembang lebih baik di masa depan.
Kegagalan startup ini memberikan pelajaran berharga bagi para pendiri bisnis dan investor. Perencanaan keuangan yang matang, inovasi yang berkelanjutan, serta adaptasi terhadap perubahan pasar menjadi faktor kunci untuk bertahan. Selain itu, diversifikasi sumber pendapatan dan strategi efisiensi juga perlu diperhatikan agar startup dapat bertahan dalam jangka panjang.
Meskipun banyak startup yang gagal, ekosistem startup di Indonesia masih memiliki potensi besar. Dengan meningkatnya jumlah talenta di bidang teknologi dan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan muncul lebih banyak startup yang tidak hanya berkembang pesat, tetapi juga mampu bertahan di tengah tantangan yang ada. Meski demikian, masih ada harapan bagi startup yang mampu beradaptasi dan memiliki strategi bisnis yang solid. Para pakar menyarankan agar startup tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan pengguna, tetapi juga pada keberlanjutan dan profitabilitas sejak awal.